Site icon Sahabat Yatim

Kode Etik Jurnalistik – Pekerjaan Dan Etika Wartawan

kode etik jurnalistik

image by freepik

Kode Etik Jurnalistik – Pekerjaan Dan Etika Wartawan || Wartawan dalam pekerjaannya perlu menaati norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat. Norma-norma agama dan norma susila termasuk di dalamnya. Norma-norma itu dapat disebut sebagai sebuah etika yang perlu ditaati bersama oleh wartawan. Etika itulah yang dinamakan etika wartawan

Dalam menjalankan tugasnya, seorang wartawan diwajibkan untuk bekerja sesuai dengan aturan yang tercantum dalam kode etik jurnalistik. Aturan tersebut tertuang dalam dokumen resmi yang diterbitkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Kode etik jurnalistik tersebut juga tercantum dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang pers. Pasal 1 ayat 14 UU No. 40 tahun 1999 merincikan kode etik jurnalistik yaitu himpunan etika profesi kewartawanan. Pada pasal 7 ayat 2, dijelaskan bahwa wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik.

Penjelasan kode etik jurnalistik tersebut dapat dilihat seperti berikut ini.

Kejujuran, Verifikasi, dan Perlindungan Sumber

Berita disiarkan sebenar-benarnya dan diperoleh dengan jujur. Artinya, berita tersebut haruslah jujur apa adanya tanpa rekayasa. Apalagi, atas tekanan pihak-pihak tertentu. Berita yang berisi hasutan atau merugikan pihak lain dan telanjur disiarkan tentunya akan merugikan kedua belah pihak.

Melakukan check and recheck sebelum berita tersebut disiarkan. Kebenaran suatu berita perlu diteliti dengan baik. Jangan sampai berita yang kita siarkan mengandung fakta yang belum tentu kebenarannya.

Bedakan dengan jelas mana saja yang termasuk fakta dan mana yang merupakan opini. Pembagian dua hal tersebut bertujuan untuk menghindari kerancuan dan salah tafsir yang dilakukan oleh pembaca. Sebuah opini atau pendapat tentu saja harus dipertanggungjawabkan.

Tidak memberitahukan nama dan lokasi keberadaan sumber berita jika memang hal itu diminta. Penyembunyian identitas seorang sumber berita sudah lumrah terjadi dalam dunia jurnalistik. Hal itu biasanya dilakukan oleh sumber berita untuk menghindari hal-hal buruk yang mungkin bisa timbul di kemudian hari akibat informasi yang dia berikan. Selain itu, hal itu dilakukan atas dasar untuk menjaga nama baik sumber berita.

Etika Penyampaian dan Penulisan Berita

Tidak memberikan informasi yang bersifat off the record Sebuah informasi dalam pencarian berita dapat dibagi menjadi dua yakni on the record dan off the record Informasi yang bersifat on the record saja yang bisa ditampilkan. Informasi yang memiliki sifat off the record tidak boleh dipublikasikan dalam bentuk apa pun. Salah satu alasan yang mungkin menjadi pertimbangan sumber berita adalah informasi tersebut akan sangat berharga untuk diketahui orang banyak. Oleh karena itu, sumber berita melarang informasi yang ia berikan untuk disebarluaskan.

Sebutkan sumber jika memang mengutip dari sumber berita lain. Seperti pada karya tulis, berita juga perlu didesain agar sumber pemberitaan dapat ditelusuri dengan baik. Selain itu, hal itu dilakukan dalam rangka menjunjung tinggi kesetiakawan profesi wartawan.

Menjadi wartawan menuntut tanggung jawab besar, sebab jurnalistik adalah profesi yang menuntut kebebasan sekaligus tanggung jawab. Seorang wartawan, dengan tulisanya, tanpa diikat oleh tanggung jawab, mudah saja menggunakan kebebasan profesinya untuk kepentingan diri sendiri atau golongannya. Profesi wartawan banyak menghubungkan masyarakat satu dengan yang lainya.

Pedoman Peliputan Kasus Hukum dan Pengadilan

Sebagai penuntun bagi wartawan dalam meliput berita pengadilan maupun tindak pidana dan sebagainya. Selain KEWI dan UU Pokok Pers No.40 tahun 1999, PWI menyusun pedoman penulisan tentang hukum sebagai berikut

Berita tentang seseorang yang diduga terlibat dalam suatu kasus sebaiknya disajikan dengan menghormati prinsip praduga tak bersalah. Namun, sesuai kebijakan yang dianjurkan oleh KEJ, pers dapat mencantumkan nama lengkap tersangka apabila hal tersebut diperlukan untuk kepentingan publik. Tetapi dalam hal ini tetaplah harus diperhatikan prinsip adil dan fairness. Memberitakan kedua belah pihak atau cover both side.

Nama, identitas, dan potret gadis/wanita yang menjadi korban pemerkosaan dan para remaja yang tersangkut dalam perkara tertentu yang menyangkut susila dan menjadi korban narkotika, hendaknya tidak dimuat dengan lengkap/jelas.

Keluarga tersangka atau terpidana yang tidak terlibat dalam kasus yang dituduhkan sebaiknya tidak disebutkan dalam pemberitaan.

Objektivitas Media dalam Proses Hukum

Dalam rangka mengungkap kebenaran dan tegaknya prinsip- prinsip proses hukum yang wajar (Due process of law) Pers sebaiknya mencari dan menyiarkan pula keterangan yang diperoleh diluar persidangan keseluruhan proses jalanya acara.

Agar terhindar dari praktik trial by the press, media perlu menjaga sikap yang adil terhadap proses hukum dan terhadap orang yang sedang dituduh. Proses pengadilan harus berlangsung secara objektif dan tidak berat sebelah, serta posisi tertuduh harus tetap dihormati agar nantinya ia dapat kembali ke masyarakat secara layak. Oleh karena itu, dalam penulisan berita, nada dan gaya penyampaian tidak boleh menggiring opini bahwa tertuduh adalah pelaku kejahatan. Hindari pula penggunaan kata-kata bernuansa opini atau yang cenderung menghakimi. Misalnya memberitakan saksi-saksi memberitakan terdakwa atau orang tertuduh memberikan keterangan yang berbelit-belit.

Pers sebaiknya tidak hanya berfokus pada sudut pandang polisi atau jaksa, tetapi juga harus memberikan ruang yang seimbang bagi semua pihak yang terlibat, seperti hakim, pembela, serta tersangka atau tertuduh.

Pemberitaan mengenai sesuatu perkara hendaknya proporsional menunjukan garis konsistenya dan adanya kelanjutan tentang penyelesainya.

Berita hendaknya memberikan gambaran jelas mengenai duduk perkara dan pihak- pihak dalam persidangan dalam hubungnya dengan hukum yang berlaku (Adji, 1990:157)

Hindari Konflik Kepentingan

Dalam penelitian Rositin (2003) Tidak jarang dalam melaksanakan tugasnya, seorang wartawan terlibat dalam konflik, atau pelanggaran yang lazim disebut kejahatan pers (delik pers).Ada banyak macam delik pers, dan salah satu, menurut Prof. Oemar Seno Adji, adalah delik pers yang bersifat penghinaan (Assegaf, 1991:83).

Delik ini merupakan bagian yang amat esensial dan sering dijumpai dalam pekerjaan jurnalistik sehari-hari. Menurut Assegaf, seorang wartawan yang baik akan selalu menghindari terperangkap dan terperosok menyiarkan berita-berita yang tidak benar yang dapat menjadi kasus penghinaan (libel dan Defamatory).

Apabila terjadi kasus seperti ini, maka surat kabar atau majalah berita yang bersangkutan dapat dituntut pidana, dan juga perdata dengan ganti rugi atas pencemaran nama baik.

Penyampaian berita yang tidak mematuhi pedoman penulisan hukum berisiko menyebabkan pencemaran nama baik (libel). Kata yang berasal dari bahasa Inggris ini berarti penyebaran fitnah secara tertulis, segala sesuatu yang memburuk dan mencemarkan nama baik atau memfitnah (Anwar, 1996:15).

Di Amerika Serikat, semua tulisan berita (news stories) diikat oleh dua konsep, yaitu hak untuk mengetahui (the right to know) dan hak untuk tidak mengganggu orang lain (the right to be let alone). Hak untuk mengetahui menyatakan bahwa pemerintahan adalah milik kita, hukum dan ketertiban negeri adalah tanggung jawab kita.

Hak untuk tidak digangganggu orang lain menyatakan, bahwa kehidupan pribadi (private lives) kita adalah urusan kita sendiri. Kita tidak dihukum, dikejar-kejar atau dihina karena kepercayaan kita, atau karena perbedaan kita dengan orang-orang lain cara kita melakukan segala sesuatu (Anwar, 1996:15).

Pahami dengan Jernih Hak Privat

Korban pemberitaan yang sering melibatkan “hak private” tadi umumnya adalah tokoh masyarakat. Sebagai contoh dapat disebutkan pemberitaan pers Inggris dan Amerika yang pemberitannya sering mengungkapkan masalah “privacy” yang menurut ukuran budaya timur sudah keterlauan. Keluarga Inggris misalnya, merupakan contoh pemberitaan internasional yang paling sering digunjingkan masalah pribadinya.

Sementara di Indonesia, masalah “hak private” ini juga sering menyangkut tokoh publik dari keluarga artis dan penyanyi. Mereka seolah tidak lagi terlindungi dari pemberitaan, tentang hak pribadinya. Dalam poin kedua KEWI disebutkan bahwa wartawan Indonesia menjalankan cara-cara yang etis dalam mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi, serta mencantumkan identitas narasumber.

Namun masalah yang sering muncul adalah bahwa kalangan pers sering mempertahankan diri dengan menyatakan ketentuan – ketentuan itu tidak berlaku bila menyangkut publik figure. Masalah yang muncul kemudian adalah kesulitan-kesulitan untuk menentukan siapakah yang dapat dianggap sebagai tokoh publik dan sampai berapa jauh suatu hal dapat dianggap masalah pribadi.

Nah. Mana yang benar. Siapa yang benar. Apakah hak wartawan mengekpos ‘tokoh publik’ atau si tokoh publik yang meminta ‘hak privat’ yang jelas. Etika wartawan sejati , tidak akan membuat komodifikasi dari pemberitaan yang tidak penting, dan bukan menjadi bagian dari concern masyarakat umum.

Itulah artikel mengenai Kode Etik Jurnalistik – Pekerjaan Dan Etika Wartawan. Semoga bermanfaat!

Exit mobile version