You are here:

Kematian Dalam Budaya Suku Batak

budaya suku batak

Kematian Dalam Budaya Suku Batak

Pada beberapa kelompok masyarakat di Asia, kematian merupakan bagian dari siklus kehidupan. Kehidupan tidak berjalan linier, melainkan berputar terus untuk mengalami pengulangan proses yang sama. Konsep kematian sebagai bagaian dari siklus kehidupan erat kaitannya dengan sistem religi, dimana religi merupakan bagian dari budaya. Dalam budaya Suku Batak , kematian adalah bagian dari religi tentang roh, sistem kekerabatan, dan sistem stratifikasi sosial.

Konsep Tentang Roh

Ada tiga konsep tentang roh dalam budaya suku Batak, yaitu tondi , sahala, dan begu Tondi merupakan roh yang dimiliki oleh semua orang. Tondi adalah jiwa orang itu sendiri yang dimiliki sejak seorang Batak lahir. Sahala juga merupakah roh yang dimiliki oleh seseorang, namun tidak semua orang dapat memilikinya.

Sahala merupakan suatu roh khusus yang menyebabkan seseorang memiliki kharisma, kecakapan, bakat, maupun kekuatan gaib Orang-orang Batak yang menduduki jabatan penting, seperti raja, dukun, panglima perang, diyakini memiliki sahala

Orang biasa pun dapat memiliki sahala walaupun kekuataanya tidaklah lebih besar dari yang dimiliki oleh raja maupun dukun. Orang Batak Karo lebih sering menyebut sahala sebagai sumangat, yaitu suatu kemampuan khusus supranatural (kesaktian).

Tondi dan sahala diterima seseorang sejak dalam masa kandungan di rahim ibunya. Tondi akan menentukan hidup, sakit, dan matinya seseorang. Jika seseorang sakit, orang Batak percaya tondi sedang keluar dari tubuh. Jika seseorang meninggal, maka tondi telah meninggalkan tubuh seseorang untuk selamanya. Tondi yang telah meninggalkan tubuh seseorang selamanya inilah yang akhirnya disebut sebagai begu.

Proses seseorang memilik sahala hampir mirip dengan tondi Sahala sudah ada sejak seseorang ada dalam rahim ibunya. Ada atau tidak ada, maupun besar kecilnya sahala akan menentukan jalan hidup seseorang, terutama kedudukan dan perannya dalam masyarakat.

Prosesi Kematian dan Upacara Bersaji

Begu diyakini terdapat dua jenis, yaitu begu baik dan begu jahat. Untuk begu, orang Batak melakukan beberapa ritul, baik berupa ritual penghormatan maupun ritual pemujaan. Begu dihormati dan juga disegani, oleh karena itu orang-orang suku Batak melakukan berbagai upacara khusus untuk begu. Upacara-upacara ini merupakan upacara bersaji, sesuai dengan macam begu.

Suku Batak Karo mengenal ada empat macam begu, yaitu batara guru atau begu bayi yang meninggal saa masih dalam kandungan ibunya, bicara (anak meninggal sebelum tumbuh gigi), begu mate sada wari (orang mati tidak wajar), dan mate kayat-kayaten (orang yang mati muda). Bagi kelompok Batak yang lain yaitu Suku Batak Toba, begu yang paling penting adalah begu dari nenek moyang atau disebut sumangot ni ompu.

Karena begu merupakan tondi dari orang yang meninggal dan dikelompok menurut cara mereka meninggal, maka upacara kematian pada orang Batak dikelompokan pula menjadi beberapa macam. Mate di Bortian adalah upacara kematian untuk janin yang masih ada dalam kandungan.

Saat seseorang meninggal saat masih bayi, upacara kematiannya disebut mate poso-poso. Orang yang meninggal saat masih anak-anak disebut mate dakdanak. Orang yang meninggal saat dewasa namun belum menikah disebut mate bulung.

mate pupur adalah sebutan untuk orang meninggal saat dewasa, namun belum menikah. Mate punu mate di paralang-alangan adalah sebutan untuk orang sudah menikah, namun saat meninggal belum memiliki anak. Mate mangkar adalah sebutan untuk orang yang meninggal namun ia telah memilik seorang anak yang masih kecil.

Mate hatungganeon adalah sebuatan bagi orang tua yang meninggal namun telah memiliki anak yang telah dewasa namun belum memiliki cucu. Mate sarimatua adalah sebutan orang yang meninggal yang telah memiliki cucu, namun ada salah satu anaknya yang belum menikah.

mate saurmatua merupakan sebuatan bagi orang yang meninggal ketika semua anaknya telah berumah tangga. Mate mauli bulung merupakan sebutan untuk orang yang meninggal, dimana saat meninggal ia telah memiliki cicit.

Upacara kematian orang yang belum dewasa merupakan acara yang biasa, namun upacara kematian orang yang telah berkeluarga hingga orang yang telah memiliki cicit merupakan acara besar yang berlangsung berhari-hari. Kegiatan yang sedikit berbeda dilakukan oleh Suku Batak Angkola yang berasal dari daearah Mandailing. Upacara kematian dilakukan lebih sederhana, paling lama satu hari setelah wafat karena jenazah harus segera dikubur.

Mangkola Holi atau Menggali Kerangka Anggota Keluarga yang Telah Meninggal

Salah satu prosesi unik dalam rangkaian upacara kematian orang Batak (terutama Batak Toba) adalah menggali tulang belulang orang yang telah meninggal. Upacara ini disebut sebagai Mangokal Holi. Tulang belulang dari anggota keluarga yang telah meninggal digali kembali, kemudian dibersihkan. Tulang belulang yang telah bersih kemudian dipindahkan ke makam baru yang telah dipersiapkan.

Prosesi mangkola holi diawalai dengan kedatangan keluarga dari pihak perempuan/istri (hula-hula) dengan membawa beras. Keluarga akan menyambut dengan melakukan tarian tor-tor. Pihak keluarga perempuan pula yang akhirnya memberi restu untuk memulai pembongkaran makam lama. Kerangka berupa tulang-belulang yang masih utuh diangkat dan kemudian dibersihkan dengan air, kadang juga dengan jeruk purut.

Rangkaian prosesi mangokal holi tidak hanya penggalian tulang orang yang telah mati, namun juga terdapat kegiatan jamuan makan besar. Pihak keluarga yang mempunyai hajat akan menyembelih kerbau untuk kemudian disajikan kepada seluruh keluarga besar serta tetangga dan warga kampung sekitar. Kepala dan buntut kerbau yang disembelih, atau disebut jambar, akan diberikan kepada anggota keluarga dari pihak istri.

Kayu penambat (borotan) kerbau yang disembelih berasal dari pohon lalas yang ditemukan di hutan. Jika borotan telah didirikan, maka kerbau digiring untuk disembelih. Setiap langkah kerbau yang akan disembelih mengandung makna khusus. Orang Batak percaya bahwa kerbau yang dapat dengan mudah digiring menuju borotan merupakan pertanda akan datangnya kemakmuran bagi keluarga yang menyelenggarakan hajat. 

Tulang belulang yang telah dibersihkan kemudian dipindahkan (dimakamkan kembali) ke sebuah bangunan khusus makam yang disebut tugu. Jika liang lahat dianggap makam sementara, maka tugu ini merupakan makam terakhir bagi orang yang telah meninggal Sistem Kekerabatan dan Stratifikasi Sosial

Melakukan upacara seperti mangokal holi bukanlah perkara ringan bagi sebuah anggota keluarga. Bantuan dari keluarga besar dan warga sekitar sangat diperlukan bagi keluarga yang mempunyai hajat. Disinilah sistem kekerabatan dalam budaya suku Batak dapat terlihat. Biaya untuk mengadakan mangokal holi diperoleh dari sumbangan keluarga besar.

Dalam prosesi, seluruh anggota keluarga terlibat langsung dengan kegiatan. Oleh karena itu, mangokal holi merupakan ajang untuk mempertemukan seluruh anggota keluarga besar (marga). Maka, tidak heran jika dalam mangokal holi diselenggarakan jamuan pesta yang meriah dan gembira karena seluruh anggota keluarga dapat berkumpul.

Walau sistem kekerabatan suku Batak adalah patrilineal (pewaris dari garis keturunan laki-laki), namun penghormatan terhadap keluarga dari pihak istri mendiang (hula-hula) sangat dijunjung tinggi. Keluarga dari pihak istri mendiang pula yang memulai upacara dan kemudian mendapat kehormatan memakaikan ulos (kain tradisional Batak) pada kerangka yang akan ditempatkan ke tugu.

Tugu tidak diperuntukan bagi satu makam.

Sebuah keluarga membangun tugu sebagai makam untuk seluruh anggota keluarga. Maka orang Batak akan berusaha membuat tugu sebesar mungkin agar semakin banyak kerangka anggota keluarga yang bisa ditempatkan pada bangunan tersebut. Semakin besar tugu, maka semakin banyak kerangka anggota keluarga yang telah meninggal dapat ditempatkan di bangunan tersebut, dan berarti semakin besar pula biaya pembangunan yang diperlukan.

Bentuk bangunan tugu mirip dengan bangunan-bangunan pagoda bertingkat. Stratifikasi sosial suku Batak dapat dilihat dari besar kecilnya tugu. Semakin besar tugu, semakin tinggi pula derajat keluarga yang membangun, maka orang Batak berusaha untuk membangun tugu sebesar dan seindah mungkin sampai-sampai lebih indah dan megah daripada rumah anggota keluarga yang masih hidup. Di dekade 60-an, pembangunan tugu sangat marak.

Ini tidak terlepas dari gerakan untuk membangun kampung halaman bona pasogit bagi para orang Batak yang merantau. Selain sebagai sebuah monumen keluarga, orang Batak dapat menggunakan tugu untuk melacak silsilah keluarga mereka sendiri.

Dalam budaya Suku Batak, kematian memiliki proses dan makna yang komplek. Budaya yang masih mengakar kuat di kalangan orang Batak membuat tradisi tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Tradisi-tradisi ini yang menjadi perekat sosial dan menjaga sistem kekerabatan tetap terjaga pada orang-orang dari Suku Batak.