You are here:

Cerita Anak Suku Pedalaman yang Membutuhkan Sarana Belajar yang Layak

Ada sebuah suku yang terisolasi dari dunia luar, tepatnya berada di pelosok Papua. Mereka tinggal di daerah yang sangat terpencil. Suku ini diyakini sebagai suku kanibal terakhir yang ada di Nusantara. Mereka adalah suku Korowai.

Suku ini ditemukan saat masyarakat telah berada dalam kehidupan yang mulai modern. Selain kisah unik tentang suku di pedalaman Papua ini, terdapat pula cerita tentang anak-anak suku pedalaman ini yang begitu mengharapkan sarana belajar yang memadai. 

Sekilas tentang Suku Korowai di Papua

Korowai merupakan salah satu suku termuda yang ditemukan di Tanah Air. Keberadaan orang pedalaman yang populasinya mencapai sekitar 3.000 jiwa tersebut terekspos ke publik sekitar 40 tahun silam, atau tepatnya pada tahun 1980.

Artinya, seperti orang pedalaman Indonesia lainnya, mereka hampir tidak pernah melakukan kontak dengan dunia luar sampai dengan tahun 1970-an. Suku asli Papua yang menempati kawasan hutan seluas 150 km dari Laut Arafura ini hanya saling tahu di antara sesama mereka saja.

Suku ini memiliki tempat tinggal yang terbilang unik, yakni bangunan rumah yang berada di pucuk pohon. Bahkan, beberapa di antara rumah itu memiliki ketinggian hingga 50 meter di atas permukaan tanah. Tidak seperti Suku Papua lain yang terkenal dengan koteka, Korowai adalah suku yang tidak mengenakan koteka.

Hanya tersedia sedikit informasi mengenai Korowai sebelum seseorang menemukan suku tersebut. Kontak pertama kali dengan orang luar suku terjadi pada Oktober 1978 oleh Johannes Veldhuizen. Kemudian, pada sekitar tahun 1980-an mulai dibangun fasilitas berupa klinik rawat jalan dan sekolah dasar.

Mari kembali pada tahun 1992, ketika pemerintah membuka pemukiman kecil bagi salah satu suku pedalaman di Indonesia ini. Jelas bahwa pemukiman tersebut terasa begitu asing bagi mereka. 

Mereka membuat rumah yang terbagi menjadi dua hingga tiga kamar dengan pola persegi panjang. Setiap kamar dilengkapi sebuah tempat api.

Walaupun telah ada turun tangan dari pemerintah, pada sekitar tahun 1978 dan 1990, suku pedalaman Papua ini masih menempati hilir sungai. Mereka bertahan hidup dengan melakukan perburuan serta membuka kebun.

Pemerintah pun mengenalkan metode penyembuhan kesehatan yang tengah diprogramkan pada waktu itu. Kendati demikian, masih banyak orang-orang Korowai yang memilih metode tradisional sebagai cara untuk membantu mengobati orang yang sakit.

Selain itu, sebagian dari orang-orang Korawai pun tergolong masih mandiri. Banyak hal-hal tradisional yang masih dipertahankan di antaranya seperti cara membuat garam, membuat kapak dari batu, dan sebagainya.

Lambat laun, mereka pun mulai mengenal rupiah. Dari mata uang itu, orang-orang suku muai bisa membeli bermacam barang, seperti pakaian, pisau cukur, dan sebagainya.

Setelah terekspos sedemikian rupa, pada tahun 1990, orang-orang Korowai terlibat dalam beberapa proyek asing. Kebanyakan dari mereka bekerja di perusahaan asing sebagai pengemudi perahu hingga ada yang sampai menjadi pemandu wisata.

Rumah Pohon dan Adat Istiadat

Mengintip Kebiasaan Suku Korowai, Pemilik Rumah Pohon Tertinggi di Papua

Seperti yang telah disebutkan, masyarakat Korowai membuat rumah dengan ketinggian luar biasa sebagai tempat bernaung. Proses memilih pohon pun tidak sembarangan. Kriteria utamanya jelas, yaitu pohon harus besar, kuat, dan kokoh karena nantinya pohon itulah yang akan menjadi penopang.

Mereka membuat lantai rumah pohon dari cabang melalui proses anyam. Untuk dinding rumah, mereka menggunakan kulit pohon sagu, sedangkan atap rumah dianyamkan dari dedauan hutan.

Dalam merangkai rumah pun mereka menggunakan tali rotan yang sangat kuat. Guna menjangkau ketinggian tersebut, dibuatlah tangga panjang. Tiap keluarga memiliki sebuah kebun yang terdiri dari sayuran hijau, buah-buahan, dan sagu, serta apa pun yang sedang tumbuh di hutan. Hewan peliharaan mereka hanya babi dan anjing.

Masih dengan peralatan yang sederhana atau tradisional, Suku Papua pedalaman ini menggunakan busur dan panah kala memancing ikan. Bahkan, buaya pun bisa menjadi santapan di masa lalu.

Dalam hal warisan, secara otomatis hak tanah seseorang yang meninggal akan menjadi milik pewaris. Seorang pria pun akan mewarisi dari adik iparnya ketika saudaranya (suami adik ipar) meninggal.

Laki-laki di suku ini relatif lebih lama menikah dibanding perempuan. Apabila laki-laki baru akan menikah pada usia 20 tahun atau lebih, kaum perempuannya menikah setelah mengalami menstruasi yang pertama.

Keluarga Suku Korowai

Suku Kanibal Terakhir Di Dunia Hidup Damai Di Papua, Ternyata Nggak  Mengerikan Kayak di Film Lho | hai-online.com | LINE TODAY

Rumah tangga orang Korowai terdiri dari kepala keluarga, satu istri atau lebih, serta anak-anak yang belum menikah. Apabila kepala keluarga meninggal, secara otomatis, ibu serta anak-anak yang belum berkeluarga akan menjadi milik keluarga dari ayah.

Orang tua akan mengajari anak mereka segala peraturan serta hal yang dianggap tabu. Gadis muda suku ini harus mulai aktif terlibat di segala peran apabila telah memiliki umur yang cukup. Sementara itu, anak laki-laki akan diajari cara membuat rumah serta cara berburu sejak menginjak usia 15 tahun.

Bukan itu saja. Selama periode remaja, mereka pun mendapat ajaran serta pengetahuan khusus mengenai asal-usul kehidupan serta bagaimana cara bertahan untuk hidup.

Tiap keluarga suku pun memahami hal-hal yang baik untuk dilakukan dan hal buruk yang harus ditinggalkan. Mereka pun dituntut untuk mengetahui keseimbangan alam, kesehatan, dan seksualitas.

Suku ini percaya bahwa roh nenek moyang memainkan peran khusus bagi keberlangsungan hidup mereka. Mereka pun percaya bahwa seseorang bisa menjelma menjadi seekor hewan. Ada keyakinan pula bahwa ketika seseorang telah meninggal, roh orang tersebut akan berkeliaran beberapa waktu di rumah pohon. Hendaknya hal ini diketahui hanya sebatas sebagai ilmu pengetahuan saja. Sebagai umat muslim, kita dilarang untuk mempercayai hal – hal mistis seperti tersebut di atas. 

Cerita Suku Pedalaman Korowai Papua dan Pendidikan

Semenjak anak-anak suku Korowai mengenal dunia luar, mereka pun memiliki keinginan yang sama dengan anak-anak pada umumnya, yakni mengakses pendidikan formal. Bahkan, hal itu terjadi hingga saat ini.

Sayangnya fasilitas penunjang untuk sekolah tidak bisa mereka dapatkan di pedalaman. Untuk bisa bersekolah, mereka harus meninggalkan rumah dengan pergi ke kota. Hal ini disebabkan sekolah beserta semua fasilitas penunjang pendidikan hanya tersedia di kota saja.

Seiring berjalannya waktu, anak-anak Korowai pun mengenyam pendidikan, walau harus meninggalkan rumah. Telah banyak yayasan yang peduli dan menyediakan fasilitas pendidikan bagi anak suku pedalaman Papua tersebut.

Selama ini, anak-anak pedalaman yang berjuang mencari pendidikan menempati sebuah asrama sederhana. Di tempat itulah mereka tinggal sekaligus menjalankan kegiatan belajar mengajar.

Namun sekarang, kapasitas asrama sederhana tersebut tidak lagi mampu menampung karena semakin banyak anak pedalaman yang datang. Anak-anak itu tidak hanya berasal dari masyarakat Korowai, melainkan beberapa anak dari suku pedalaman lain di Papua.

Sekolah di kalangan masyarakat Korowai tergolong masih minim akses dan fasilitas. Para pengurus sekolah di sana mengharapkan bahwa akses pendidikan semakin mudah sehingga kian banyak pula anak pedalaman Papua yang dapat mengenyam pendidikan formal. Begitu pula mengenai fasilitas penunjang pendidikan, pihak pengurus mengharapkan hal itu akan makin lengkap dan merata. 

 

  • Jika Kamu suka dengan artikel ini, silahkan share melalui Media Sosial kamu.
  • Jika Kamu ingin berdonasi untuk Anak Yatim dan Dhuafa, Silahkan Klik Disini.