Jejak Historis Kotagede

Jejak Historis Kotagede
Jejak Historis Kotagede

Jejak Historis Kotagede

Jejak Historis Kotagede Sebagai destinasi wisata yang di ,masa silam banyak dicatat berbagai buku panduan wisata manca negara, Kotagede tetap memiliki daya pikat bagi saya di masa kini. Sarat nuansa klasik di tengah kawasan-kawasan urban Daerah Istimewa Yogyakarta (DIy). Saya memiliki waktu tak lebih dari dua hari untuk mengenalnya lebih jauh. Sebuah tempat, yang dulu menjadi jantung negeri Mataram.

Saya menyimpulkan keunikan Kotagede sebagai tempat kunjungan wisata saat petang menjelang. Ketika berjalan melalui jalur evakuasi Banguntapan. Ada sekelompok warga desa, mayoritas lelaki, tengah mengelilingi kubangan air serupa kolam persegi. Mereka asyik memancing, sementara di dekat ,kolam, bersandar kendaraan berat, penanda pembangunan masih terus berlangsung. Sebuah upaya mengembalikan Kotagede  sebagai tempat wisata budaya. Sebuah upaya yang belum berakhir, dan hasilnya sudah bisa saya temui tadi pagi.

FAKTA SINGKAT: Kotagede merupakan kawasan tradisional tertua DIY. Wilayah ini tadinya berupa hutan bernama mentaok, yang dijadikan Ki Ageng pemanahan, raja pertama Mataram sebagai tempat hunian. Pada masa pemerintahan Sutawijaya, raja mataram kedua, Kotagede ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan mataran. Sekarang, Kotagede telah membentuk kehidupan perkotaan yang menganut prinsip Catur Gatra Tunggal. Artinya tempat komponen dalam satu kesatuan, mencakup keraton atau istana, mesjid, alun-alun, dan pasar.

dengan luas 220 ha, wilavah Kotagede diapit dua sungai  Sungai Gajah Wong (barat) dan Sungai Manggisan (timur). Bagian selatan berupa area persawahan dan bagian utara merupakan pemukiman. Berdasar geografi administrasi Indonesia saat ini, Kotagede merupakan daerah irisan antara Kecamatan banguntapan (Kabupaten Bantul) dan kecamatan Kota Kotagede (Kota Yogakarta). Ada lima desa yang tercakup : dalamnya: Jagalan, Singosaren, Purbayan, Prenggan, dan Rejowinangun.

Jejak Historis Kotagede

Jejak Historis Kotagede

Kedatangan saya ke Kotagede bertepatan dengan peringatan pasca gempa Yogyakarta yang terjadi 4 tahun silam. Saat terjadi gempa, lebih dari 200 rumah rusak. Sebesar 60% kondisinya rusak berat. Dari jumlah total itu, sebanyak 22 rumah dikonservasi papar Salehuden Kepala Kelurahan Jagalan, satu dari kelurahan yang berada di Kotagede. ia mengungkap, bangunan-bangunan  Desa Jagalan umumnya dibuat sebelim tahun 1800. “Bangunan-bangunan  tua di Kotagede umumnya tak kuat menahan  guncangan berkekuatan mencapai 5.9 skala Richter.” Kurun empat tahun setelah gempa dahsyat Yogyakarta, masyarakat DIY berbenah diri untuk membangun kembali kehidupannya. Dengan dukungan dari berbagai pihak, masyarakat menginginkan pusaka budaya yang pernah mereka miliki tidak hilang begitu saja. meski alam pernah berkata lain. Termasuk vang terjadi atas Kotagede. Sebuah revitalisasi digalang tanpa pernah terputus. Dalam bahasa setempat, disebutkan bahwa, “Manunggaling warga tlatah Kutha Gedhe nyawiji tansah njaga lan nguri-uri lestarining Pusaka Kutha Gedhe pinangka sipat kandel kanggo ngayuh kamulyan ing tembe mburi”

Sepenggal niat luhur dalam bentuk ikrar bersama tadi, menyebut bahwa para penghuni kawasan Kotagede bersatu untuk menjaga dan melestarikan kota sebagai pusaka negeri, bagi kemuliaan di kemudian hari. Merekapun berjanji setia kepada pemahaman bersama ini di Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

JALAN KAKI PAGI HARI: saya mulai dengan menyusuri Jalan Mondorakan, seruas jalan utama yang membelah Kotagede, dengan dominasi rumah-rumah dan toko mengapit di kiri-kanan jalan. Sebuah nuansa pagi yang tertangkap mata dalam bungkus kekinian; nuansa pusat kota, keriuhan antara pedagang dan para pembeli yang berkumpul dalam sebuah ajang transaksi. Tapi ada satu hal mengena dalam hati saya, keramahan khas penduduk setempat. Sebuah potret beda dibanding kota-kota besar. Sebuah keakraban hangat dapat saya rasakan di Bumi Kotagede.  Dari sana, langkah terus berlanjut, menyusuri Desa Jagalan. Suasana sebuah kota tua mulai terasa. Jalan setapak dengan lebar tak sampai 3 m di mana sepasang kaki saya menapak adalah buatan sekitar tahun 1960-an. Orang-orang Belanda melakukannya untuk Tumenggung Mertoloyo. Maksud pemberian tersebut adalah sebagai hadiah atas pengabdiannya yang tulus.

Jejak Historis Kotagede

Desa ini dinamai dengan kata jagalan, karena di masa lalu merupakan tempat jagal atau penyembelihan hewan ternak. Di bagian bawah jalan terdapat saluran air, disebut jagang njero sebagai salah satu fasilitas sanitasi dan pengairan. Jalan “kapiler” itu dikelilingi dinding bangunan dengan tinggi berkisar 4 m yang turut membentuk karakteristik khas kawasan Kotagede. Selain jalan gang, yang membentuk
ciri Kotagede adalah jalan rukunan. Jalan ini merupakan bentukan dari deretan ruang terbuka di antara dalem dan pendapa. Ditiap ujungnya terdapat gerbang sebagai batas antara jatan rukunan dan jalan kampung. Jalan rukunan banyak dijumpai di dekat area masjid dan makam. Jalan rukunan pada umumnya digunakan sebagai tempat bersosialisasi antar warga dan terkadang digunakan untuk acara-acara tertentu seperti upacara kemerdekaan, pernikahan, maupun kematian.Jejak Historis Kotagede

Masih dengan berjalan kaki-bila  menginginkan, dapat pula menggunakan sepeda, seperti dilakukan beberapa pejalan-saya menjumpai sebuah bangunan sangat tua. Memiliki pagar yang tersusun dari tumpukan batu serta lumut tumbuh subur pada banyal celah. Itulah kompleks pasarean atau makam raja-raja Mataram di Kotagede. Di sebelah barat bangunan ini, terdapat tempat dengan sumber mata air
yang disebut masyarakat setempat sebagai sendang sumber kemuning. Berfungsi sebagai tempat bertapa panembahan Senopati, yang bertahta tahun 1579. Hingga kini, sumber air digunakan sebagai tempat pemandian warga sekitar. Masuk ke dalam benteng, yang berlokasi bersebelahan dengan makam para raja, juga terdapat tempat pemandian bernama Sendang putri-dengan mata air berasal dari pohon beringin yang ditanam Sunan Kalijaga-dan Sendang Kakungdi bawah pusara makam panembahan Senopati. Dengan menggunakan
upacara adat keraton, kedua sendang tempat pemandian itu dibersihkan secara rutin pada pertengahan bulan April. Bersamaan dengan acara Kirab Seni Budaya Kotagede, yang dimulai dari Balai Desa Jagalan, Banguntapan menuju ke halaman Masjid Mataram.

terima kasih semoga bermanfaat dan ayooo cari tahu ada apa disana”Jejak Historis Kotagede”…….!!!!!!!!!!!

 

  • Jika Kamu suka dengan artikel ini, silahkan share melalui Media Sosial kamu.
  • Jika Kamu ingin berdonasi untuk Anak Yatim dan Dhuafa, Silahkan Klik Disini.

Warehousing & Storage
Services

Careful storage of your goods

View details

Custom Transport
Solutions

Complex logistic solutions for your business

View details