You are here:

Keunikan Suku Pedalaman Afrika Pigmi

suku pedalaman afrika

Keunikan Suku Pedalaman Afrika Pigmi

suku pedalaman afrika-Menurut para ahli, Afrika adalah tempat tinggal manusia yang pertama. Dari benua inilah, manusia menyebar ke berbagai tempat lain di bumi. Afrika adalah benua terluas kedua dunia dengan wilayah 30.224.050km².

Afrika disebut sebagai benua hitam bukan semata-mata merujuk pada kulit orang Afrika yang hitam, melainkan masih banyak daerah di benua ini yang belum terjamah dan belum diketahui oleh masyarakat dunia luar.

Masih banyak misteri lain yang belum terkuak menyelimuti benua nan eksotik ini. Salah satu hal yang paling menarik dari benua Afrika ini adalah kehidupan suku Pigmi yang merupakan suku pedalaman Afrika

Dibandingkan dengan orang-orang Afrika pada umumnya, suku Pigmi memilki keunikan tersendiri. Berikut ini merupakan beberapa keunikan suku Pigmi.

Keunikan Penampilan Fisik Masyarakat Suku Pigmi

Berbeda dengan tampilan fisik orang Afrika pada umumnya yang berbadan tinggi besar, orang suku Pigmi memiliki tinggi hanya sekitar 120cm. Bandingkan dengan orang Afrika lainnya yang bisa mencapai tinggi sekitar 180-200cm.

Penampilan fisik yang cukup mini ini disinyalir oleh dua orang antropolog dari Universitas Cambridge sebagai salah satu akibat dari persalinan di usia muda. Kebnayakan wanita dapat bereproduksi pada usia yang relatif muda, namun hal itu justru meningkatkan respon terhadap angka kematian yang cukup tinggi.

Akibat hal itulah maka sumber daya pertumbuhan dialihkan dan menghasilkan tubuh yang kecil sebagai efek samping persalinan di usia muda. Selain itu, para peneliti tradisional juga menggambarkan bahwa ciri fisik masyarakat Pigmi ini memiliki rata-rata tinggi tubuh laki-laki dewasanya tidak lebih dari 155 cm.

Suku pedalaman Afrika ini diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok yang hidup di wilayah Afrika, Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Andaman yang terletak di Burma sebelah tenggara.

Dua antropolog yang tadi telah disebutkan juga menganalisis data milik pemerintah Inggris yang menyertakan beberapa hasil penelitian antropologi dari kepulauan Andaman yang dilakukan pada tahun 1971 sampai 1986.

Penelitian yang dilakukan meliputi ciri fisik dan kesehatan 604 orang dari tiga kelompom masyarakat suku Pigmi dengan data taksiran jumlah populasi setiap kelompok do seluruh waktu.

Terdapat dua kelompok Pigmi bernama Onge dan Jarawa yang hidup di pulai yang terpisah dari suku Pigmi yang hidup di Kepulauan Andaman. Mereka mengasingkan diri ke dalam hutan untuk menghindar dari masyarakat Inggris yang pada tahun 1858 hingga 1947 menjajah mereka.

Berbeda dengan kelompok suku Pigmi Onge dan Jarawa, kelompok Pigmi di Kepulauan Andaman lebih terbuka dalam menerima masyarakat baru di wilayahnya, termasuk bangsa Inggris yang pada saat itu datang ke tempat mereka.

Hal tersebut mengakibatkan individu Pigmi menjadi tertular berbagai penyakit yang dibawa oleh masyarakat Inggris, seperti penyakit TBC, influenza, dan sipilis.

Perkiraan jumlah populasi mereka menurun dari 6 ribu pada tahun 1858 hingga menjadi 600 orang pada tahun 1900.

Selain itu, sejarah Inggris juga menyatakan bahwa rata-rata tinggi masyarakat suku Pigmi berkurang secara mencolok selama periode kematian meningkat. Tinggi laki-laki suku Pigmi akan berkurang pada tingkat yang setara dengan 4,7 cm setiap 100 tahunnya. Sementara itu, tinggi tubuh wanita suku Pigmi akan berkurang sebanyak 1,8 cm setiap 100 tahun.

Masyarakat suku Pigmi Onge memperlihatkan rata-rata tubuh mereka meningkat setelah upaya bangsa Inggris untuk berinteraksi dengan mereka terhenti. Jumlah populasi masyarakat Onge pun menurun dari 1901 hingga 1951. Kebanyakan laki-laki dari suku ini memiliki tinggi 155 cm, sedangkan wanitanya memiliki tinggi sekitar 147 cm.

Tempat Tinggal Masyarakat Suku Pigmi

Tempat tinggal suku Pigmi berbeda dengan orang dari suku pedalaman Afrika pada umumnya yang biasa hidup di sabana atau padang pasir tandus. Suku Pigmi tinggal di tengah belantara hutan tropis, tepatnya seperti negara Kongo dan Gabon. Kedua negara ini adalah sedikit dari negara Afrika yang berada di garis khatulistiwa sehingga alamnya ditumbuhi hutan belantara.

Hal inil jugalah yang mungkin menyebabkan fisik orang Pigmi lebih kecil dari saudara lainnya yang tinggal di padang pasir atau sabana. Mereka dimanjakan dengan kondisi alam yang ramah dan serba berkecukupan. Bahkan, banyak orang Pigmi yang tinggal di atas pohon.

Kisah Sedih Manusia Pigmi

Pada awal abad ke-20, tepatnya pada 1904, seorang suku Pigmi bernama Ota Benga ditangkap oleh seorang peneliti evolusionis di Kongo, Afrika. Padahal, Ota Benga telah berkeluarga dengan memiliki seorang istri dan dua anak. Secara brutal, Ota Benga dirantai dan dikurung dalam kerangkeng besi sampai ke Amerika Serikat.

Ota Benga kemudian dipamerkan pada Pekan Raya Dunia di St. Louis. Oleh para ilmuwan evolusionis, Ota Benga dianggap sebagai “mata rantai manusia yang hilang”. Dengan kata lain, mereka menganggap Ota Benga adalah bukan manusia, melainkan kera yang paling dekat hubungannya dengan manusia.

Selanjutnya, Ota Benga ditempatkan di Kebun Binatang Bronx, New York layaknya hewan sungguhan. Di sana, Ota Benga ditempatkan dengan kelompok kera lainnya, seperti simpanse dan gorila dengan nama “nenek moyang manusia”.

Di depan para pengunjung, direktur kebun binatang tersebut, seorang evolusionis bernama Dr. William T. Hornaday, menjelaskan panjang lebar tentang teori evolusi Darwin dan transisi dari seekor kera menjadi seorang manusia dengan Ota Benga sebagai mata rantainya. Selama dua tahun, Ota Benga diperlakukan seperti itu. Akhirnya, ia bunuh diri.

Berbagai Fakta Mengenai Masyarakat Suku Pigmi

Pada tahun 2007, sebuah studi yang dipimpin oleh Migliano melaporkan bahwa masyarakat suku Pigmi yang hidup di pedalaman Afrika dan Filipina cenderung berhenti tumbuh pada masa awal remaja.

Mereka memiliki harapan hidup yang rendah karena kecenderungan berkembang biak atau bereproduksi di usia muda. Hal ini sama seperti yang telah disebutkan di bagian atas bahwa pendeknya fisik seseorang disebabkan pula oleh reproduksi wanita di usia muda.

Hal ini tidak selamanya didukung oleh para peneliti lainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa pendek atau kerdilnya seseorang bisa juga diakibatkan oleh pertumbuhan hormon.

Namun, penelitian Migliano juga dibuktikan kembali dengan adanya data yang menyebutkan bahwa wanita Pigmi menikah di usia 11 tahun. Hal ini juga membuktikan bahwa suku Pigmi tidak bertumbuh secara kerdil akibat kekurangan gizi.

Faktor gizi buruk tidaklah bisa dijadikan sebagai dasar penelitian mengapa masyarakat suku Pigmi bertubuh kerdil. Oleh sebab itu, sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian mengenai masyarakat suku pedalaman Afrika yang bertubuh kerdil tersebut.

Akan tetapi, penelitian tidak bisa terus dilakukan apabila populasi masyarakat suku pedalaman tersebut semakin lama semakin menurun. Dibutuhkan pelestarian yang membuat masyarakat Pigmi tetap berada di zona perkembangbiakan yang baik.

Sayangnya, masyarakat suku Pigmi kebanyakan tidak mau terlalu terbuka dengan masyarakat lain sehingga hal tersebut juga mempersulit dilakukannya penelitian, terutama oleh bangsa lain yang memiliki ciri fisik yang jauh berbeda dengan masyarakat suku Pigmi.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat suku Pigmi memiliki keunikan yang cukup berbeda dengan masyarakat suku pedalaman lainnya, yakni tubuh yang rata-rata kurang dari 155 cm.

Selain itu, mereka juga biasa hidup di wilayah hutan tropis dan kebanyakan dari mereka tidak memiliki sifat yang terbuka terhadap bangsa asing, kecuali masyarakat Pigmi di Kepulauan Andaman.