Sahabat Yatim

Duh, Kakek Tunanetra HST Ini Sering Makan Hanya Pakai Garam

12

Seorang warga miskin menyandang tunanetra, hidup di gubuk tua sendirian. Warga Desa Mahang Sungai Hanyar, Kecamatan Pandawan, Kabupaten HST, tersebut adalah Akhmad (62).

Sampai 2016, dia mengaku belum tersentuh program sosial pemerintah. Baik berupa dana kompensasi subsidi BBM, maupun program lain seperti bedah rumah.

Menurut warga setempat, kakek yang hidup sebatang kara itu utu memang belum tersentuh bantuan apapun. Padahal warga setempat melalui Kades telah mengusulkan agar diberikan bantuan rehab gubuknya serta mendapat santunan. Warga pun mendesak pemkab segera membantu.

“Terutama untuk fasilitas toilet, sangat memerlukannya. Karena selama ini dia dengan kondisi tunanetra harus pergi ke tempat yang jauh dari rumah penduduk,” tutur Abu, warga setempat.

Sedangkan untuk program dana pengganti subsidi, selanya, juga tidak pernah mendapatkannya karena tak masuk dalam data di pemerintah pusat.

Pada 2012, Akhmad masih bisa melakukan aktivitas mencari nafkah sendiri, yaitu bercocok tanam padi di sepetak sawah yang dimilikinya. Berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Namun kini kakek yang tak pernah menikah dan tak punya sanak saudara itu tak bisa bekerja lagi.

Sawah yang dulu digarapnya sendiri, dikerjakan orang lain dengan sistem bagi hasil. Namun selama belum musim panen, hidupnya hanya dari pemberian orang lain.

“Sebenanya tidak ingin tergantung pada orang lain. Tapi saya tak sanggup lagi berjalan kaki jarak jauh. Jadinya, tak bisa lagi menggarap sawah,” tutur lelaki yang akrab disapa Kai Amat tersebut saat ditemui akhir pekan tadi.

Meski demikian, dalam menjalani kehidupan sehari-hari, dia tetap tak ingin merepotkan orang lain. Tiap hari, memasak nasi sendiri dengan menggunakan sabut kelapa dan kayu seadanya.

Jika tak punya uang membeli ikan atau tak ada yang mengantarinya lauk, menikmati makan nasinya hanya dengan garam. “Kadang garam dicampur cabai rawit, biar ada rasanya,” ungkapnya.

Meskipun penglihatannya tak berfungsi sejak kecil, namun Amat bisa memasak di tungku kecil di bagian belakang rumahnya dengan baik. Mulai mencuci beras, memasukkan nasi ke dalam panci saat air mendidih, hingga mengetahui saat nasi sudah matang dan tidak gosong.

“Saya memang tidak melihat, tapi saya terbiasa melakukan pekerjaan dengan perasaan,” imbuhnya.

Kai Amat tinggal puluhan tahun seorang diri di gubuk tua yang terletak di belakang rumah seorang warga. Kondisi gubuk berukuran sekitar 3×6 meter tersebut makin memprihatinkan. Beratap daun rumbia, dinding yang sebagian terbuat dari kayu dan bambu itu terlihat bolong-bolong. Lantainya pun banyak yang lapuk.

Di dalam gubung tersebut hanya ada setumpuk pakaian kumal. Sebuah kasur, bantal kapuk dan kelambu yang sama lusuhnya. Juga ada radio tua yang menjadi hiburan satu-satunya. Sedangkan di bagian dapur, panci untuk memasak dan merebus, wajan, serta beberapa buah gelas dan piring. Satu-satunya impiannya adalah punya toilet.

“Saya harus pergi ke belakang, jauh-jauh dari rumah warga. Sebenarnya malu juga karena di tanah milik orang lain. Menurut aparat desa di sini, sudah diusulkan ke Pemkab HST. Tapi belum ada diberikan,” ucap Kai Amat. (han)

 

Exit mobile version